Museum Multatuli Rangkasbitung, Museum Anti Kolonialisme Pertama di Indonesia
- Multatuli ialah nama pena dari seorang pemuda berkebangsaan Belanda bernama Eduard Douwes Dekker yang mengungkap kekejaman pemerintah kolonial Belanda melalui karya sastra berjudul Max Havelaar.
Karya sastra tersebut mulanya tidak diterima dengan baik oleh masyarakat Belanda karena Multatuli dianggap "menelanjangi" bangsa sendiri.
"Banyak sekali bangsa Belanda pada saat itu menganggap bahwa Multatuli ialah seorang penghianat karena menggerogoti Belanda dari dalam," kata Edukator Museum Multatuli Ginandar saat ditemui di lokasi, Jumat (26/5/2023).
Baca juga:
- Berkunjung ke Museum Multatuli Lalu Menyusuri Banyak Kisah Sejarah
- Yang Baru di Rangkasbitung Banten, Yuk Main ke Museum Multatuli
Akan tetapi, siapa sangka karya tersebut kemudian berhasil menarik perhatian pembaca hingga ke berbagai negara di dunia.
Rekam jejak Multatuli saat ini dapat ditemui di dua tempat di dunia. Pertama , di Museum Multatuli Amsterdam dan kedua di Museum Multatuli Rangkasbitung.
Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai jejak sejarah kolonialisme Belanda dan pengaruh Multatuli bagi keberlangsungan bangsa Indonesia, berkesempatan mampir ke Museum Multatuli Rangkasbitung.
Sejarah Museum Multatuli
Gedung yang digunakan sebagai Museum Multatuli di Rangkasbitung saat ini merupakan gedung kantor bekas kewedanaan pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
"Bangunan ini didirikan sekitar 1923-an, dan kemudian beralih fungsi menjadi Museum Multatuli sekitar awal 2016," kata Ginandar.
Ginandar menceritakan mulanya gedung yang direncanakan sebagai gedung museum yaitu rumah dinas yang dulu pernah ditempati oleh Multatuli di Rangkasbitung.
Baca juga:
- 5 Tips Berkunjung ke Museum Multatuli, Baca Sejarah Dahulu
- Kenapa Museum Multatuli Dibangun Di Rangkasbitung? Ini Penjelasannya
Akan tetapi karena terkendala administrasi dan kepemilikan, bangunan Museum Multatuli kemudian dialihkan ke bekas kantor kewedanaan yang juga sudah menjadi cagar budaya.
"Museum ini dipugar awal 2016, beberapa bangunan dari kewedanaan dialihfungsikan, kemudian diresmikan sebagai museum pada 11 Februari 2018," ujar Ginandar.
Proses pembangunan museum ini, kata Ginandar, melibatkan para pemerhati sejarah, seniman, dan budayawan.
"Museum ini terdiri dari tujuh ruangan, dan masing-masing ruangan memiliki tema tersendiri. Tema museum ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu kolonialisme dan anti-kolonialisme," kata Ginandar.
Terkini Lainnya
- 4 Aktivitas Seru di Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta, Bisa Belajar Bikin Gerabah
- Pengalaman Mengunjungi Museum Seni Rupa dan Keramik di Jakarta, Serunya Belajar Bikin Gerabah
- Kisah Ruangan Khusus di Museum Sejarah Jakarta, Ternyata Tempat Pangeran Diponegoro Ditahan
- Wisata 4 Musim di Tottori, Jepang, Lihat Kunang-kunang di Hutan Liar Saat Musim Panas
- Lebih dari 32.000 Orang Serbu Dieng Banjarnegara Saat Long Weekend Maulid Nabi 2024
- Menengok Natsu Matsuri, Festival Budaya Jepang di Jakarta
- Mengapa Bali Sering Dipilih Jadi Lokasi Konferensi?
- Jalur ke Dieng Macet Parah Saat Long Weekend Maulid Nabi 2024
- Pengalaman Berkunjung ke Pasar Santa, Nikmatnya Kopi hingga Musik dari Piringan Hitam
- Rute ke Wisata Hiu Paus Botubarani di Gorontalo, 30 Menit dari Kota Gorontalo
- Kebumen Jadi Tuan Rumah Geofest ke-6 Tahun 2025, Targetkan 300 Peserta
- 5 Tips ke Wisata Hiu Paus Botubarani Gorontalo, Datang pada Waktu yang Tepat
- Mengulik Patung Hermes di Museum Fatahillah, Dulunya Sempat di Harmoni
- Pengalaman Ikut Pottery Class di Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta
- Cerita Cosplayer di Jak-Japan Matsuri 2024, Modal Rp 1,5 Juta
- Kuil Kuno di China Didigitalisasi, Wisatawan Bisa Lihat Bangunan Asli
- Kursi Kereta Ekonomi Tak Lagi Tegak, Kapan Bisa Dicoba Penumpang?
- Perpustakaan Unik di Tangerang OMAH Library, Banyak Dikunjungi Tamu Asing
- Pesawat Penumpang Komersial Terbesar Dunia Milik Emirates Akan Mendarat di Bandara Ngurah Rai
- Mengenal Apitan, Tradisi Jelang Idul Adha di Jawa Tengah