Menyusuri Kampung Eropa Loji Wetan Solo, Dulunya Kawasan Mewah
SOLO, - Solo, Jawa Tengah, mempunyai kampung Eropa pada zaman penjajahan Belanda. Namanya Loji Wetan.
Sesuai namanya, Loji Wetan berada di sebelah wetan alias Timur dari Benteng Vastenburg.
Tempat ini dijuluki sebagai kampung mewah karena sudah dialiri listrik dan tersedia air bersih.
berkesempatan jalan-jalan bersama Soerakarta Walking Tour untuk menyimak lebih jauh mengenai kisah kemewahan Loji Wetan, pada Minggu (12/11/2023).
Sebelumnya, kami berkumpul dulu di halaman Benteng Vastenburg, sekaligus mendengar sejarah benteng yang dibangun pada tahun 1745 itu.
Lantas, berhenti pula di depan Gedung Djoeang 45 yang dulunya dijadikan asrama anak orang Eropa dan barak tentara.
Dari titik itu, perjalanan berlanjut dengan berjalan kaki sepanjang lebih kurang 500 meter menuju ke Loji Wetan.
Kami berhenti di depan sebuah bangunan bertembok tinggi dekat dengan Kedai Kopi Omah Lojiwetan.
Inilah awal mula kisah kampung Eropa mewah di Solo pada masanya.
"Loji itu dari Bahasa Belanda artinya tempat tinggal dan pusat perdagangan. Wetan merujuk pada lokasi kampung ini, berada di timur Benteng Vastenburg. Wetan dalam Bahasa Jawa artinya timur," terang pemandu wisata, Hasna Okta Mufida (24).
Berawal dari tinggal di dalam benteng, orang Eropa pun mendirikan permukiman di luar benteng setelah Perang Diponegoro usai.
Tidak diketahui secara pasti kapan mereka berpindah ke Loji Wetan, tetapi pada sebuah peta tahun 1821, tergambar jelas adanya permukiman di sisi timur benteng.
Ketika kampung lain belum mempunyai akses air bersih apalagi dialiri listrik, Loji Wetan mendapatkan dua privilese itu. Faktor inilah yang membuat Loji Wetan sebagai perkampungan mewah.
Di samping itu, fasilitas penunjang lengkap dibangun di Loji Wetan. Sebut saja taman kanak-kanak yang dulu diprakarsai seorang Jerman di negaranya, lantas diadaptasi oleh orang Belanda.
Mereka mendirikan TK di Hindia Belanda walau di negara-negara Eropa saja, konsep ini masih asing. Taman kanak-kanak pertama kali dibangun di Solo pada 1 Oktober 1887 di Koestraat.
Fathan pun menunjukkan foto gedung zaman dahulu sekaligus peta setiap tempat yang kami kunjungi. Ini membuat kami tahu beda bangunan dahulu dan sekarang.
Baca juga:
- Benteng Vastenburg, Awal Mula Permukiman Eropa di Solo
- Solo Safari Bakal Punya Sejumlah Wahana Baru, Termasuk Rumah Hantu
- 5 Tempat Wisata Baru di Solo, Bisa Nonton Konser Musik
Beberapa meter dari tempat itu, dekat dengan bundaran kecil, ada sebuah bangunan tanpa atap. Pintunya pun terlihat tertutup.
Terlihat mural di tembok, itu hasil karya Soerakarta Walking Tour saat melakukan kegiatan napak tilas Loji Wetan.
Ternyata bangunan itu dulunya Waterschap kantoor atau kantor dewan air. Salah satunya bertugas mengukur debit air sungai agar tidak meluap dan membanjiri kota.
Solo kerap banjir sejak dulu karena bekas tanah rawa-rawa yang letaknya lebih rendah dari daerah sekitarnya. Beberapa kali terjadi banjir besar misalnya pada tahun 1929.
Sampai akhirnya kantor dewan air ini bekerja sama dengan Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegara untuk mendirikan Pintu Air Demangan di Sangkrah pada 1915 demi mengendalikan banjir.
"Bangunan ini sekarang terbengkalai, dulu pas 2016 masih ada dua lantai, tapi sekarang sudah roboh. Bagian dalamnya tidak ada apa-apa, hanya ilalang," pungkas pemandu lain Fathan Yughadaru (23), sembari mengarahkan kami ke tujuan berikutnya.
Dari bundaran Jalan Sungai Sebakung, mulai terlihat bangunan lawas bergaya Belanda di Jalan Sungai Kapuas bertuliskan Geraja Pantekosta.
Dari depan terlihat ada tiga pintu putih dan deretan jendela di lantai dua.
Namun, sebelum menjadi gereja, dulunya bangunan berpagar dan bertembok hijau ini kantor atau klinik kesehatan umum.
Pekerja di klinik itu, seperti dokter dan suster yang merupakan orang Belanda, menangani berbagai penyakit, bahkan termasuk wabah.
Salah satu wabah yang pernah mereka tangani adalah pes. Konon mulai menjangkit warga Solo termasuk orang Eropa pada Maret 1915.
Loji Wetan yang digadang-gadang sebagai kampung mewah dengan alirah air bersihnya pun tak luput dari wabah ini.
Beranjak dari tempat ini, kami menuju ke bangunan dengan pintu besi abu-abu, tembok menghitam seperti bekas kebakaran yang punya ventilasi atau jendela lebar di bagian atas.
Inilah tempat hiburan orang Eropa, bioskop yang disebut Alhambra Theatre.
Baca juga:
Terkini Lainnya
- Aktivitas di Menoreh View Kulon Progo, Kulineran hingga Gowes Tengah Sawah
- 6 Benda Cagar Budaya Dipulangkan ke Indonesia, Ada Arca Perunggu
- Tiket Kereta Pasar Senen-Purwosari Nataru 2024 Masih Bisa Dibeli
- Tiket Kereta Pasar Senen-Surabaya Pasar Turi Nataru 2024 Masih Tersedia
- Jejak Zaman Purba di Geopark Galunggung, Wisata Baru di Tasikmalaya
- Desa Santa Claus di Finlandia Hadapi Masalah Overtourism
- Batik Shibori, Ide Oleh-oleh Khas Surabaya di Kampung Wisata Ketandan
- Bebas Ribet Urus Visa Traveling ke Luar Negeri dengan GoVisa
- Depok Punya Paspor, Berisi Rute Wisata dan Bisa Distempel
- Wujudkan Golo Mori Labuan Bajo yang Ramah Lingkungan, Sampah Jadi Fokus Utama
- Sistem Subak, Warisan Budaya Dunia yang Jadi Daya Tarik Wisata Desa Jatiluwih
- 15 Wisata Alam di Malang untuk Liburan Nataru yang Berkesan
- 15 Wisata Keluarga di Malang Saat Nataru, Seru dan Edukatif
- Rute Menuju ke Bukit AsLan Bandar Lampung
- Harga Tiket dan Paket di Bukit AsLan
- Kampung Batik di Solo Turut Rasakan Dampak Positif Piala Dunia U-17
- 8 Tips Atasi Bosan di Pesawat Saat Penerbangan Panjang
- Libur Akhir Tahun, Okupansi Hotel di Malang Ditargetkan Capai 80 Persen
- Promo Vietjet Mulai dari Rp 0, Terbang dari Jakarta ke Berbagai Negara
- Jepang Wajibkan Turis Indonesia Tes TBC, Menparekraf: Liburan di Indonesia Saja